Christian Warinussy LP3BH Manokwari: Masyarakat Jangan Mudah Terpengaruh Ajakan Kibar Bendera BK

Christian Warinussy LP3BH Manokwari: Masyarakat Jangan Mudah Terpengaruh Ajakan Kibar Bendera BK
HARIANTERKINI.COM, Jakarta – Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Christian Warinussy, minta  masyarakat Papua tidak mudah terpengaruh oleh ajakan untuk melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora.

“Sebagai advokat dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, saya ingin meminta perhatian rakyat Papua untuk tidak mudah dipengaruhi oleh ajakan-ajakan untuk melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora di Manokwari dan sekitarnya,” kata Warinussy sebagaimana tertuang dalam rilis pers yang diterima Jubi di Jayapura.

Pernyataan tersebut disampaikan Warinussy menyusul instruksi Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut, untuk seluruh masyarakat Papua yang memiliki semangat untuk merdeka agar menaikkan atau mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 19 Oktober 2020.

Tanggal 19 Oktober adalah momentum lahirnya sebuah negara yang disebut NFRPB, usai menggelar Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus Waena Padang Bulan, Kota Jayapura, 2011 lalu.

“Ini sesuai dengan instruksi dari Pak Presiden bahwa hari kemerdekaan itu sesungguhnya jatuh pada 19 Oktober bulan tanggal 1 Desember seperti yang diperingati selama ini,” kata Kepala Polisi NFRPB, Elias Ayakeding, membacakan pernyataan Presiden Forkorus Yaboisembut di Jayapura.

Elias yang datang dengan pasukannya ini menyampaikan bahwa perayaan HUT ke-9 ini akan digelar dengan cara ibadah namun dibarengi dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.

Lebih jauh Warinussy mengatakan tanggal 1 Desember 1961, sesungguhnya adalah salah satu moment untuk menunjuk kepada pemerintah Belanda bahwa mayoritas rakyat Papua saat itu hendak berdiri sendiri di atas kakinya sendiri alias merdeka.

“Karena pemerintah Belanda masih berada di Tanah Papua, maka proklamasi tidak bisa terjadi, karena harus seizin Ratu Belanda di Den Haag. Hal yang sama pernah terjadi dalam suasana berbeda di Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Dimana saat itu, di Indonesia, khususnya Jakarta ada pasukan tentara Jepang. Tapi mereka sedang tidak memiliki kekuasaan apapuan, karena baru saja menyerah saat bom atom dijatuhkan pasukan sekutu Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki,” paparnya.

Warinussy menambahkan saat itu pasukan tentara Belanda sedang berada di Singapura, karena ‘dipukul’ oleh Jepang. Demikian juga pasukan Sekutu sedang berada di luar Pulau Jawa saat itu. Jadi praktis terjadi kekosongan kekuasaan di Jakarta dan Indonesia. Inilah moment penting yang dimanfaatkan oleh Ir. Soekarno dan Drs Mohammad Hatta inti membacakan teks Proklamasi.

“Pembuatan teks Proklamasi pun dikerjakan di rumah seorang perwira angkatan Jepang bernama Laksamana Muda Maeda. Maka jadilah Indonesia Raya Merdeka ketika itu, 17 Agustus 1945,” katanya.

Warinussy menuturkan peristiwa tersebut jelas berbeda dengan 19 Oktober 2011 di lapangan Zakeus, Abepuram Kota Jayapura. Dimana terjadi pembubaran oleh aparat keamanan (polisi dan TNI). Banyak orang ditangkap dan ditahan, bahkan saudara Forkorus Yaboisembut dan Edison Waromi ditahan dan diproses hingga ke Pengadilan Negeri (PN) Jayapura dan dipidana sebagai pelaku makar.

“Inilah bedanya dengan Soekarno dan Hatta, meskipun mereka sempat ditangkap dan diajukan ke pengadilan oleh Belanda, tapi tidak ada hukum yang bisa menjerat mereka, karena Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sah dan diakui dunia,” katanya.

Pembelajaran dari kasus Soekarno dan Hatta terkait Proklamasi tersebut, kata Warinussy, penting bagi generasi muda asli Papua. Persoalan apakah Papua menjadi bagian dari Indonesia secara legal atau tidak, itu sudah ada pengakuan negara di dalam pembukaan UUD 1945 serta amanat konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Kemudian diubah dengan UU RI No.35 Tahun 2008.Yang kemudian menempatian pasal 45 dan pasal 46 dari UU Otsus Papua tersebut yang perlu disikapi dan dibicarakan oleh Presiden Joko Widodo bersama seluruh komponen rakyat Papua di akhir tahun 2020 ini. Demi menciptakan perdamaian di Tanah Papua tercinta.

Sementara itu, anggota DPR RI asal Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie, mengatakan pergerakan untuk kemerdekaan Papua, lepas dari NKRI, adalah perjuangan yang kemungkinan kecil akan berhasil. Karenanya, Ijie minta pemuda asli Papua fokus menatap masa depan, tidak perlu terlibat dalam gerakan perjuangan tersebut.

“Sekolah saja, urus yang bisa kalian dapat hari ini. Karena untuk (Papua) merdeka, itu sangat sulit,” kata Ijie, saat menghadiri ulang tahun ke-21 Provinsi Papua Barat, di Manokwari.

Alasan yang melatarbelakangi Papua sulit merdeka, kata Ijie, karena Komisi Dekolonisasi PBB menyebut dekolonisasi Papua telah selesai pada tahun 1969. Ijie mengatakan hanya lima negara dibawah PBB yang memiliki hak Veto, yaitu Inggris, Amerika, Perancis, Russia, dan Cina.

“Lima negara pemegang hak Veto PBB masih punya kepentingan terhadap Indonesia, sehingga bagaimana mungkin mereka bisa tinggalkan mitra mereka [Indonesia]. Itu bagian yang menurut saya ‘tidak mungkin’ bisa memisahkan Papua dari NKRI,” kata Ijie.

Namun, sebut Ijie, Papua bisa saja lepas dari NKRI jika persoalan panjang di Papua terus didekati dengan ekskalasi militer.

“Tapi, bukan tidak mungkin, tergantung pada persoalan di Papua akhir-akhir ini. Karena kalau  pendekatan militeristiknya ‘luar biasa’ di Papua, maka itu bisa jadi pintu masuk,” katanya.

Baca Berita Lainnya : Penembakan TGPF Intan Jaya Dinilai Tambah Bukti Kekejaman Separatis Papua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *