Mengawal Pilkada 2020 dari Racun Politik Uang

Mengawal Pilkada 2020 dari Racun Politik Uang
HARIANTERKINI.COM – Siapa yang punya dana besar atau minimal punya akses ke dana besar dia yang hampir pasti akan memenangkan kontestasi pemilihan umum (pemilu) atau Pilkada. Yang berduit akan menjadi pemimpin. Ya, itulah penyakit lama pemilu yang lazim kita sebut dengan politik uang (money politics).

Pandangan Pancasila dan UUD 45 kekuasaan dan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Memang dan seharusnya kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Mereka yang menjabat tak lain hanya wakil dari rakyat, itu pandangan normatif demokrasi. Kenyataannya, kekuasaan dan kedaulatan itu runtuh seketika manakala kekuasaan dan kedaulatan bisa di rupiahkan.

Sering kita dengar setiap kali ada pesta demokrasi atau pilkada bahwa “suara rakyat suara Tuhan”. Dalam pandangan agama Islam bahwa ketika orang Islam berkumpul dan membuat suatu pemufakatan (musyawarah) dalam suatu perkara maka tidak mungkin orang Islam tersebut bermufakat dalam suatu keburukan.

Sedangkan Indonesia merupakan penduduk Muslim terbesar di dunia. Artinya, ungkapan diatas dapat dibenarkan bahwa memang “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Tetapi, suara itu bukan lagi suara Tuhan bila mana suara rakyat sudah di campuri oleh uang.

“Tidak ada makan siang gratis (no free lunch)”. Ungkapan itu bisa dijadikan ilustrasi bahwa untuk menjadi pemimpin baik itu presiden, gubernur, bupati, walikota dan kepala desa harus punya uang, untuk menjadi wakil rakyat di parlemen harus punya uang serta untuk menjadi pejabat juga harus punya uang karena semua itu tidak bisa didapatkan secara cuma-cuma.

Sedikit atau banyak, politik uang akan menghiasi pesta demokrasi lima tahunan. Tak terkecuali pilkada serentak 2020. Itulah kesimpulan yang dapat kita baca dari berbagai tulisan para pakar dan pengamat politik di berbagai media massa, ketika mereka memprediksi diselenggarakannya pilkada ditengah pandemi covid-19. Politik uang kali ini akan meningkat tajam.

Politik uang akan semakin digdaya. Kedigdayaan tersebut disebabkan oleh keadaan ekonomi global yang carut marut, ekonomi beberapa negara mengalami resesi. Imbasnya, kondisi perekonomian Indonesia tiarap dan beberapa ekonom mempredisiki pertumbuhan ekonomi nasional akan terjun bebas alias resesi.

Pilkada kali ini diselenggarakan ditengah kondisi perut sedang lapar. Apapun bisa dimakan termasuk uang haram politik yang penting kenyang. “Tak ada ranting rotan pun jadi” sama dengan “Tak ada uang halal, uang haram pun jadi” ungkapan itu yang pas menggambarkan kondisi pilkada serentak 2020.

Lalu, bagaimana cara mengatasi politik uang? Pertama, menelusuri pendanaan. Selama ini para kandidat hanya diminta untuk melaporkan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai syarat pencalonan serta pelaporan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tidak ada penelusuran atas kekayaan dan dana kampanye yang digunakan. Jadi, sudah saatnya penyelenggara pemilu melakukan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) untuk menelusuri pendanaan para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada.

Kedua, pemahaman para pemilih. Akibat praktik politik uang yang sudah mendarah daging, akhirnya membuat para pemilih bahwa momen pemilihan umum adalah momen bagi-bagi sesuatu yang manfaatnya dirasakan secara langsung yakni bisa berbentuk uang atau barang.

Pemilih tidak memikirkan dampak buruk jangka panjangnya yang apabila pemilih menerima pemberian para kandidat maka harus siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya, misalnya berupa kebijakan yang tidak berpihak pada dirinya.

Ketiga, moral agama. Sepertinya masyarakat sudah tebiasa dengan dalil-dalil agama bahwa menerima uang haram (politik uang) adalah perilaku tercela. Tetapi, dalil-dalil itu hanya sebatas dalil yang sekedar diucapkan dari mulut atau maksimal hanya keluar dari kerongkongan tidak keluar dari hati. Maka, sudah seharusnya para tokoh agama tidak hanya sekedar menyeru tetapi juga memberikan contoh yang baik. Bahkan dalam beberapa kasus, seorang Kiyai membolehkan praktik politik uang karena masifnya praktik tersebut sehingga atas nama keadilan dihalalkanlah praktik jual beli suara untuk mencapai permainan yang merata.

Keempat, penegakan hukum. Larangan terhadap politik uang sudah mapan diatur dalam undang-undang. Tetapi, persoalan klasik masih saja menjadi kendala dalam memberangus politik uang yaitu persoalan penegakan hukum oleh pihak aparat yang berwajib.

Kepolisian, Bawaslu dan Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang berperan dalam proses penegakan hukum tindak pidana pemilu (politik uang). Masyarakat tentu berharap besar terhadap lembaga-lembaga tersebut, terutama dalam hal menjaga kepercayaan publik terhadap pemilu.

Baca Juga : Sri Mulyani Beberkan Fakta Ekonomi RI Mulai Pulih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *