PERAN BAWASLU MEMERANGI PELUANG KORUPSI DI PILKADA 2020

Pada tahun ini, tepatnya bulan November mendatang berbagai kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Ada 270 daerah terdiri 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota telah siap melakukan pesta demokrasi karena masa bakti kepala daerah telah usai. Pilkada kali ini menjadi pilkada terbesar dari sisi jumlah daerah yang ada di negeri ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara merupakan tokoh sentral dalam menahkodai pelaksanaan pilkada serentak ini. Kredibilitas KPU tentu menjadi pertaruhan yang tinggi dalam menjaga muruah penyelenggaraan pemilihan pilkada sesuai amanat undang-undang. Tetapi, harapan kita sebagai masyarakat memiliki mimpi untuk bisa terwujud bahwa lembaga itu dapat melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya dengan baik.

Kita masih ingat peristiwa kasus suap yang melibatkan salah satu penyelenggara pilkada yakni komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, beberapa waktu lalu. Lembaga penyelenggara pilkada ini seakan menjadi potret masyarakat luas dalam menyelenggarakan perhelatan demokrasi ini. Apalagi pada tahun ini pilkada serentak dilakukan dengan jumlah besar. Setelah adanya kasus suap tersebut, diakui memberi dampak akan kepercayaan publik mengalami penurunan.

Bagaimana KPU bisa menyelenggarakan pemilukada sesuai dengan undang-undang? Bagaimana sumber daya yang dimiliki? Mudah-mudahan para komisioner KPU mampu menjaga integritas yang tinggi. Bukan perkara mudah tentu saja untuk menjaga integritas penyelenggaraan pilkada. Termasuk menjaga netralitas penyelenggaraan pilkada ini, menjadi sebuah nilai yang sangat mahal harganya.

KPU dari tingkat pusat hingga daerah harus bisa membuktikan bahwa sebagai salah satu lembaga pemerintah yang dipercaya publik ini, betul-betul bisa menempatkan posisinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. KPU harus bekerja ekstra keras dan profesional untuk bisa membangun reputasinya kembali pasca peristiwa suap yang dilakukan oknum komisionernya. Integritas yang independen menjadi sebuah keharusan jika lembaga ini ingin dipercaya publik kembali. Tidak hanya secara kelembagaan tetapi juga pada sektor penguatan independensi personal.

Tidak hanya komitmen

Penyelenggaraan pilkada ini akan sukses jika semua komponen dapat bekerja sama dengan baik. Selain KPU, peran serta Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan lembaga yang mesti punya andil besar dalam menjaga integritas. Khususnya, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang diamanatkan undang- undang (UU) untuk melaksanakan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum Pilkada Serentak. Hal itu juga termuat dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada adalah Bawaslu Kabupaten/Kota dalam memberi pengawasan di tingkat daerah.

Tentu ini menjadi sebuah upaya dalam rangka memberi jaminan pilkada dilakukan secara adil, jujur, demokratis, dan berkepastian hukum. Dalam perjalanannya, kewenangan Bawaslu kabupaten/kota menjadi permanen sejak tahun 2018 sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2019 juga disebutkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) bisa ditandatangani Bawaslu Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, Bawaslu baik tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota berwenang mengawasi seluruh tahapan pilkada sesuai dengan divisinya. Paling tidak, Bawaslu dalam kapasitasnya juga harus bertanggungjawab terhadap timbulnya masalah-masalah yang dalam menghantarkan suksesnya penyelenggaraan pilkada.Termasuk melakukan pengawasan terhadap komisionernya agar tidak terulang lagi seperti kasus serupa Wahyu Setiawan, sehingga peluang-peluang korupsi dapat dicegah dan diantisipasi. Peran Bawaslu dalam konteks mengawasi perilaku penyelenggara pemilu ini seharusnya melekat dalam tugas-tugasnya. Mestinya lebih proaktif dalam melakukan pengawasan sehingga praktik-praktik suap dan korupsi dapat dihindari.

KPU, Bawaslu dan DKPP adalah lembaga yang mestinya paling bertanggung jawab dalam suksesnya penyelenggaraan pilkada ini. Oleh karenanya, sangat penting artinya dalam memupuk akhlak menjadi semakin kuat sehingga tidak melakukan penyimpangan, baik secara hukum maupun secara moral, (Chapli,2011). Diakui bahwa godaan besar dalam menyelenggarakan pilkada serentak ini bukanlah hal kecil, tetapi sangat besar. Iming-iming dan janji besar dengan sejumlah uang sangat mungkin akan terjadi untuk memuluskan tujuan yang diinginkan. Namun demikian, stakeholders yang lain juga harus ikut serta memberi kontrol dan sumbangsih sesuai kapasitasnya masing-masing. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *