Serangan Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Refleksi Dari Polemik Pernyataan Menag RI

persatuan

HARIANTERKINI.COM – Serangan Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Refleksi Dari Polemik Pernyataan Menag RI

“270 juta jiwa penduduk. 17.508 pulau. 99.093 kilometer panjang garis pantai. 1,9 juta kilometer persegi luas daratan, 3,2 juta kilometer persegi luas lautan. 1.340 suku bangsa. 718 bahasa. 6 agama.”

Meski hanya sekilas, namun angka-angka di atas dapat menggambarkan betapa besarnya bangsa dan negara Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, hanya tiga negara di dunia ini yang jumlah penduduknya melebihi negara kita. Dalam aspek panjang garis pantai, Indonesia hanya kalah dari Kanada. Sementara untuk jumlah pulau, negara kita masuk dalam enam besar negara-negara dengan pulau terbanyak di dunia.

Angka-angka di awal tulisan ini juga dapat mengingatkan kita bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat keragaman yang tinggi. Di saat yang sama, kita pun mafhum bahwa semakin tinggi tingkat keragaman maka semakin tinggi pula kerentanan yang dapat menerpa khususnya dalam aspek persatuan dan kesatuan. Hal yang sama juga terjadi pada Indonesia.

Padahal, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi faktor penentu berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, wajar apabila persatuan dan kesatuan bangsa dan negara selalu mendapat gempuran dari berbagai sisi dan bentuk yang kerap menggunakan anak-anak bangsa sendiri turut serta menggaungkan isu SARA. Salah satu contoh teranyar adalah ramai-ramai polemik yang menyerang Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas.

Sebagaimana ramai diberitakan, beberapa waktu yang lalu, Kemenag RI telah mengeluarkan Surat Edaran Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Sebagai pihak yang menerbitkan SE tersebut, sudah barang tentu Menag Yaqut bertanggungjawab sebagai ujung tombak untuk memberikan penjelasan agar kehadiran SE No. 5 Tahun 2022 itu bisa diterima oleh seluruh umat Islam Indonesia.
Sayangnya, di tengah upaya memberikan klarifikasi dan edukasi, Menag Yaqut melakukan blunder. Dalam salah satu potongan wawancara, Menag Yaqut dituding telah menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Jelas, tudingan tersebut pun membuat panas banyak pihak khususnya yang menerima isu tersebut setengah-setengah.
Alhasil, pro kontra pun ramai berseliweran khususnya di media sosial. Banyak yang mengecam pernyataan Menag Yaqut, namun tidak sedikit juga yang membela. Intinya, publik terbelah.

Terbelahnya publik pun dianggap sebagai momentum yang pas. Pas, untuk kembali menggoyang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Apalagi sumber polemik adalah Menteri Agama, sosok yang bisa dimaknai sebagai representasi pemerintah. Sungguh sasaran tembak yang ideal.

Menag RI, sebagai representasi pemerintah, dituding anti terhadap Islam. Blunder Menag yang dituduh menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing pun dimanfaatkan untuk mengamplifikasi tuduhan pemerintah telah menistakan syiar Islam. Opini bahwa umat Islam mendapat perlakuan tidak adil dibanding agama lain kembali ramai disuarakan. SE yang awalnya bertujuan ingin memperkuat harmonisasi umat beragama, malah dikait-kaitkan dengan SARA.

Meskipun Kemenag RI telah merilis klarifikasi bahwa Menag Yaqut sama sekali tidak menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing—dan secara pribadi pun penulis sepakat dengan klarifikasi tersebut—hal tersebut tampaknya tidak cukup untuk meredam polemik yang ada.

Berhari-hari setelah klarifikasi disampaikan kepada publik, misleading dan tudingan macam-macam kepada Menag Yaqut dan pemerintah masih tetap ramai. Para oknum yang memang ingin memecahbelah bangsa, terus-terusan menggempur ruang diskursus publik dengan berbagai propaganda dan provokasi yang menyesatkan.
Alhasil, klarifikasi Menag Yaqut yang bertujuan ingin mengembalikan kesejukan antar umat beragama, tampaknya tidak begitu efektif. Bahkan penulis pun yakin masih ada sebagian dari umat Islam yang tidak mengetahui bahwa Menag RI telah merilis klarifikasi terkait “gonggongan anjing”. Panas dari sekam bara yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa pun tetap awet.

Dengan demikian, tidak berlebihan apabila kita katakan bahwa ramai-ramai pro kontra polemik “gonggongan anjing” merupakan satu dari sekian banyak bentuk ancaman yang senantiasa mendera persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Dari polemik itu juga, kita perlu menyadari bahwa tidak sedikit pihak-pihak yang memang tidak senang melihat kerukunan di Indonesia. Pihak-pihak ini, akan selalu berupaya merongrong persatuan bangsa dengan harapan dapat melihat Indonesia akan jatuh dan tercerai berai. Kondisi tersebut memberikan celah bagi yang dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan asing di Indonesia. Lemahnya kesadaran masyarakat untuk menyadari bahwa kekuatan Indonesia terletak pada persatuan dan kesatuan mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan antar kelompok masyarakat di Indonesia.
Kembalikan Pada Pancasila

Sebagai anak-anak ibu pertiwi, apa yang harus kita lakukan untuk terus mempertahankan persatuan dan kesatuan kita? Jawabannya sederhana: kembalikan pada Pancasila.
Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan falsafah negara yang memang telah dirancang oleh para founding father sebagai alat pemersatu bangsa penuh kemajemukan seperti bangsa Inodnesia.

Dalam konteks keterbelahan publik akibat blunder pernyataan Menag Yaqut, semua ramai-ramai akibat polemik tersebut bisa diselesaikan dengan cepat dan tepat apabila seluruh anak bangsa kembali merujuk pada Pancasila.
Cukup dengan memaknai secara mendalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka saling serang antara pihak yang pro dan kontra terhadap blunder Menag Yaqut seharusnya tidak perlu ada.

Sila Pertama menggariskan keyakinan penuh terhadap nilai-nilai kebaikan agama. Dimana dalam setiap agama, semua penganutnya diajarkan untuk mengedepankan prasangka baik, saling welas asih, dan mengedepankan kerukunan.
Dengan demikian, sebelum membabi buta menyerang Menag RI dengan berbagai tuduhan yang sebenarnya cukup kejam, sebagai umat beragama seharusnya mengedepankan tabayyun terlebih dahulu. Apabila dilakukan, kesejukan antar bangsa pun bukan sesuatu mahal rasanya.

Intinya, berbagai permasalahan yang mendera persatuan dan kesatuan bangsa ini dapat diselesaikan dengan menerapkan secara utuh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, membumikan nilai-nilai Pancasila merupakan hal prioritas yang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan seluruh lapisan masyarakat agar Bangsa Indonesia jauh dari upaya pecah belah dan adu domba.

Rocky Trinovaldi

BACA JUGA : Masinton : Presiden Jokowi Menolak Jabatan tiga Periode

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *