Menkeu Beraksi! Buru Utang BLBI, Bambang Tri & Lapindo

Menkeu Beraksi! Buru Utang BLBI, Bambang Tri & Lapindo
HARIANTERKINI.COM – Sederet piutang negara ditargetkan oleh pemerintah untuk bisa segera dibayar. Mulai dari Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), piutang oleh Bambang Trihatmodjo. Hingga utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya milik keluarga Bakrie.

Belum lama ini, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Rionald Silaban yang juga merupakan Ketua Satgas Hak Tagih Dana BLBI mengungkapkan akan menagih aset dana BLBI hingga ke luar negeri.

“Pada dasarnya pemerintah akan menagih, walaupun kita harus menagih dan pengejaran aset di luar negeri, akan kita lakukan,” jelas Rio.

Rio menjelaskan ada 22 obligor dan sejumlah debitur yang menjadi incaran penagihan pemerintah. Saat ini, seluruh dokumen untuk melakukan penagihan sedang disiapkan dan nama-nama tersebut akan diserahkan kepada Dewan Pengarah Satgas Hak Tagih Dana BLBI.

“Ada 22 obligor dan debitur. Kalau untuk debitur banyak, kalau obligor jumlahnya ada 22. Kita saat ini sedang mempersiapkan, pada saatnya satgas akan menyampaikan kepada dewan pengarah satgas,” kata Rio melanjutkan.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi juga telah membentuk satgas BLBI yang tertuang dalam Keppres Nomor 6 Tahun 2021. Beleid ini menyebutkan bahwa satgas bertujuan untuk melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien.

Penagihan utang BLBI berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya. Upaya tersebut akan dilakukan kepada obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya, maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana BLBI.

Satgas mulai berlaku sejak Keppres ditetapkan, yakni pada 6 April 2021 hingga 31 Desember 2023 mendatang.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD mengatakan, total nilai aset BLBI yang dapat dikembalikan ke negara mencapai Rp 110,45 triliun.

Total piutang dari BLBI tersebut terdiri dari enam macam tagihan, di antaranya tagihan berbentuk kredit yang jumlahnya sekitar Rp 101 triliun, properti bernilai lebih dari Rp 8 triliun, mata uang asing, hingga saham.

“Hitungan terakhir per hari ini, tadi, tagihan utang dari BLBI ini setelah menghitung sesuai dengan perkembangan jumlah kurs uang, kemudian pergerakan saham, dan nilai-nilai properti yang dijaminkan, per hari ini yang kemudian menjadi pedoman adalah sebesar Rp 110.454.809.645.467,” jelas Mahfud pada konferensi pers beberapa waktu lalu.

Tindak lanjut setelah gugatan putra Presiden RI ke-2 ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Kementerian Keuangan menegaskan untuk terus melakukan penagihan utang.

Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Tri Wahyuningsih menjelaskan, penagihan utang akan dilakukan melalui ketentuan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

“Pengurusannya masih berlanjut seperti biasa. Jadi kita melakukan penagihan melalui ketentuan PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Jadi proses berjalan seperti biasa, penagihan kembali,” ujarnya dalam media briefing akhir bulan lalu.

Sebagai informasi Bambang Trihatmodjo menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena keberatan dicekal ke luar negeri. Pencekalan dilakukan lantaran ada utang yang belum dilunasinya.

Sri Mulyani mencegah Bambang ke luar negeri karena putra ketiga Soeharto itu bertahun-tahun tak kunjung membayar piutang ke negara. Adapun piutang tersebut terkait konsorsium SEA Games XIX 1997, saat Bambang menjabat sebagai ketua konsorsium penyelenggara.

Ayah Bambang Trihatmodjo, Soeharto, yang kala itu menjabat Presiden menggelontorkan uang Rp 35 miliar untuk konsorsium tersebut lewat jalur Bantuan Presiden (Banpres). Nilai utang yang harus dibayar menurut data Kemenkeu adalah sebesar Rp 50 miliar.

Melansir detikcom, Pengacara Bambang Trihatmodjo, Prisma Wardhana Sasmita menyatakan sebenarnya nilai utang awal yang membelit kliennya tersebut sebesar Rp 35 miliar.

Angka Rp 50 miliar tersebut, lanjut dia, merupakan nilai pokok utang ditambah dengan akumulasi bunga sebesar 5% per tahun.

“Bunga 5% setahun yang sebenarnya itu talangan yang disebut sebagai utang hingga selesai dilakukan audit keuangan. Namun ya itu, unsur politiknya dibawa-bawa. Apalagi tanpa diduga Presiden Soeharto lengser di 1998,” ucap Prisma.

Namun, ia melanjutkan, kliennya merasa bukan penanggung jawab PT Tata Insani Mukti, maka ia keberatan bila harus menanggung tagihan tersebut. Menurut Prisma, yang bertanggung jawab atas keuangan dana yang ditagih adalah PT Tata Insani Mukti. Sehingga Bambang kaget kok malah dicekal.

“Yang menjadi subyek KMP itu adalah PT Tata Insani Mukti. Ini yang keliru dipahami. Konsorsium secara perdata bukan subyek hukum sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jadi, yang dimintai pertanggungjawabannya itu ya PT sebagai subjek hukumnya,” jelas Prisma.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rionald Silaban mengisyaratkan utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya milik keluarga Bakrie belum lunas dan akan terus ditagih oleh pemerintah.

“Lapindo masih kita teliti, pada dasarnya apa yang ada di catatan pemerintah itu yang akan kita tagihkan,” jelas Rio dalam media briefing virtual, Jumat (30/4/2021).

Sebelumnya Isa Rachmatawarta, mantan Direktur Jenderal Kekayaan Kemenkeu sempat menjelaskan bahwa dalam upaya menagih utang kepada perusahaan Bakrie, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).

DJKN pun mendesak agar Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya membayarkan utangnya secara kontan atau tunai. “Pembayaran tunai adalah opsi pertama bagi kami,” ujar Isa kala itu.

Dari keterangan Isa kala itu juga, Lapindo dikabarkan sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah, untuk bisa melunasi utangnya dengan pemberian aset yang Lapindo miliki.

Seperti diketahui, pada Maret 2007 perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar. Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman.

Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda. Atau Lunas pada 2019 lalu.

Nyatanya, semenjak uang negara dicairkan melalui perjanjian PRJ-16/MK.01/2015 mengenai Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, Lapindo hanya mencicil satu kali.

Pihak Lapindo baru membayar utang dana talangan pemerintah sebesar Rp 5 miliar dari total utang Rp 773,8 miliar.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 1,91 triliun.

Pengembalian uang negara itu merupakan pokok, bunga, dan denda yang harus dibayar Lapindo atas pinjaman dana talangan akibat luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Baca juga: Larangan Mudik Lebaran Saat Pandemi Covid-19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *